Teknologi informasi telah memberi banyak kemajuan bagi
kehidupan manusia. Terlebih semakin meningkatnya pemanfaatan komputer dan
internet dalam membantu memudahkan berbagai pekerjaan dan aktivitas
sehari-hari. Lewat komputer dan perangkat lain yang menjadi produk
pengembangannya termasuk gawai (gadget), segala jenis informasi bisa diakses
dan disebarluaskan dengan mudah melalui jaringan internet.
Dalam perkembangannya, tidak semua informasi yang tersebar
luas di internet positif. Tak sedikit pula berisi informasi negatif, contohnya
penyebaran berita bohong, radikalisme, ujaran kebencian, dan penipuan.
Diperlukan kebijakan dan kemampuan dari setiap pengguna gawai dalam
mengendalikan informasi yang mereka dapat di jaringan internet.
Pemerhati teknologi informasi asal Amerika Serikat, Paul
Gilster, memunculkan istilah baru yakni literasi digital. Ini kemudian menjadi
sebuah istilah baku dalam bukunya Digital Literacy yang terbit pada 1997.
Di dalam perkembangannya, UNESCO memperkuat istilah literasi
digital. Menurut Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan
Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut, literasi digital berhubungan dengan
kecakapan (life skill) karena tidak hanya melibatkan teknologi, melainkan
meliputi kemampuan untuk belajar, berpikir kritis, kreatif, dan inovatif untuk
menghasilkan kompetensi digital.
Menurut Yudha Pradana dalam Atribusi Kewargaan Digital dalam
Literasi Digital (2018), terdapat empat prinsip dasar dalam literasi digital.
Pertama adalah pemahaman di mana masyarakat memiliki kemampuan untuk memahami
informasi yang tersaji di internet sebagai media komunikasi, baik secara
implisit ataupun eksplisit.
Kemudian terjadi saling ketergantungan dan saling melengkapi
terhadap informasi yang tersaji. Lalu terdapat pula peran sosial di dalamnya
dan terakhir adalah kurasi atau kemampuan masyarakat untuk mengakses, memahami,
serta menyimpan informasi untuk diolah sebagai pesan positif.
Saat ini, kemampuan masyarakat dalam memahami informasi di
ranah digital yang berkembang dalam jaringan internet sudah semakin maju.
Mereka sudah mulai mampu menyaring informasi mana saja yang layak untuk
dikonsumsi dan apa saja yang kemudian dikategorikan sebagai informasi negatif.
Hal ini diketahui dari hasil pengukuran Indeks Literasi
Digital Indonesia 2021 yang digelar oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika
bekerja sama dengan Katadata Insight Center (KIC). Secara keseluruhan, Indeks
Literasi Digital Indonesia 2021 mencapai 3.49 dari skala 1-5, atau naik dari
pencapaian tahun sebelumnya 3.46.
Pengukuran Indeks Literasi Digital Indonesia 2021 dilakukan
melalui survei tatap muka kepada 10.000 responden di 514 kabupaten/kota di
Indonesia. Karakteristik responden adalah pengguna internet berusia 13--70
tahun. Dari survei tersebut ditemukan bahwa budaya digital (digital culture)
mendapatkan skor tertinggi, 3.90.
Diikuti etika digital (digital etics) (3.53), dan kecakapan
digital (digital skill) sebesar 3.44. Kemudian keamanan digital (digital
safety) mendapat skor terendah, 3.10 atau sedikit di atas sedang. Pengukuran
indeks literasi digital ini selain untuk mengetahui status literasi digital di
Indonesia juga untuk memastikan upaya peningkatan literasi digital masyarakat
makin tepat sasaran.
Demikian dikatakan Direktur Jenderal Aplikasi Informatika
Kementerian Komunikasi dan Informatika Samuel Abrijani Pangerapan dalam acara
Peluncuran Indeks Literasi Digital Indonesia 2021 di Jakarta, Kamis
(20/1/2022). “Kita ingin terus mempercepat dan mengawal terus tingkat literasi
digital masyarakat, mengimbangi dengan perkembangan teknologi digital yang
cepat dan makin strategis bagi kehidupan masyarakat Indonesia saat ini,“
ujarnya.
Panel Ahli Katadata Insight Center, Mulya Amri menjelaskan,
bila dibanding tahun sebelumnya, pada kerangka indeks 2021 terdapat perubahan
dalam pengelompokan unsur pembentuk penyusun indeks. “Ini adalah upaya untuk
terus memastikan Indonesia memiliki alat ukur yang ajeg dan kini kita sudah
punya roadmap atau peta jalan yang bisa dijadikan acuan baik dalam pengkuran
maupun upaya peningkatan literasi,” kata Mulya.
Terkait masih rendahnya skor keamanan digital, Mulya
berpendapat, ini berhubungan kesadaran masyarakat akan minimnya pemahaman dari
keamanan dalam mengunggah data pribadinya ke publik. “Kami menemukan misalnya,
masih banyak yang tidak menyadari bahaya dari mengunggah data pribadi,” ujar Mulya.
Seluruh informasi mengenai kegiatan literasi digital dapat
diikuti melalui literasidigital.id. Sedang hasil survei indeks literasi digital
dapat dibaca dan diunduh melalui status.literasidigital.id. Sementara itu,
pihak Kominfo bersama lembaga Centre for Strategic and International Studies
(CSIS) dan Universitas Oxford sedang menggodok pengukuran kecakapan digital dan
literasi digital untuk keperluan pertemuan G20.
"Tujuannya, kita mendorong pengukuran literasi digital
dan kecakapan digital itu dapat berlaku untuk semua negara anggota G20. Jadi,
ini sangat relevan dengan pekerjaan yang sedang kita lakukan dalam menggalakkan
literasi digital di Indonesia," kata Juru Bicara Kominfo Dedy Permadi.
Dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi Negara-Negara G20 2022,
Indonesia telah menetapkan literasi digital sebagai isu utama yang akan dibahas
bersama negara-negara peserta. Pengukuran literasi digital yang nantinya
diajukan dalam KTT G20 akan menjadi tolok ukur dari negara untuk menyiapkan
masyarakatnya menghadapi realitas baru di era digital.
Sumber : indonesia.go.id